MELAMBAT UNTUK LEBIH JAUH MELANGKAH (Revitalisasi kawasan pusaka Kota Bogor - Pecinan, Suryakencana)

A. PENDAHULUAN
Tactical Urbanism | Better Block in Dallas
Better Block in Dallas

Globalisasi seakan menuntut segalanya agar cepat dan praktis termasuk dalam hal pembangunan dan infrastruktur. Dibandingkan pembangunan tepat sasaran, dengan tekanan globalisasi pembangunan masif dan pesat menjadi tolak ukur utama maju dan berhasilnya pembangunan. Namun,pembangunan yang terlalu cepat tanpa memperhatikan nilai-nilai esensi dan fungsional objek pembangunan tanpa arah tidak akan menciptakan komunitas livable dan pembangunan serta ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini  malah akan  menyebabkan pembangunan cenderung tidak terkendali berujung kepada degradasi nilai objek pembangunan itu sendiri. Alih-alih membangun pusat bisnis, pembangunan infrastruktur yang melupakan identitas dan nilai suatu kawasan dalam jangka panjang malah hanya akan termakan zaman mejadi disfungsi karena tidak mempunyai nilai tersendiri. Oleh karena itu, memperhatikan keunikan karakter lokalitas dan  membangun kesatuan suatu kawasan merupakan hal yang utama dalam memberikan nilai suatu kawasan.

"Kota yang memiliki bermacam-macam bagian akan lebih menyenangkan daripada yang homogen atau menyerupai kota lain". (Attoe, 1988).

Adjieandro -  A cheerful Saturday night at Malioboro street.
Jalan Malioboro, Jogjakarta, Indonesia

Kawasan bersejarah selain dapat menjadi identitas kota merupakan daya tarik utama bagi kunjungan turis. Sementara itu, United Nations Support Facility for Indonesian Recovery atau UNSFIR (2002) berpendapat bahwa ‘banyak peninggalan warisan budaya di Indonesia tidak terurus sama sekali oleh pemerintah daerahnya’. Oleh karenanya pemerintah menggalang sebuah program yang disebut Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang-Kementrian Pekerjaan Umum dan Balai Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yang bertujuan untuk melestarikan aset pusaka baik yang tangible maupun intangible sehingga kota-kota di Indonesia menjadi kota yang berjati diri, nyaman dan berkelanjutan. 

Istana Bogor tempat kedudukan Gubernur Jendral Belanda (1882-1889)
Istana Bogor tempat kedudukan Jendral Belanda (1882-1889)

Kota Bogor yang menjadi penyangga ibukota Indonesiapun turut andil berpartisipasi dalam program P3KP. Kota Bogor juga dikenal sebagai kota lama yang memiliki banyak nilai sejarah dan keragaman sosial budaya yang tinggi, hal ini tercermin dari etnis masyarakat, adat masyarakat yang berbeda-beda sesuai etnis dan bentuk bangunannya yang khas dan menonjolkan keunikan budayanya. Mulai dari Istana Bogor, kantor pemerintahan, sekolah, hotel, tempat ibadah sampai rumah tinggal saat ini masih berdiri kokoh. Diperlukan upaya dalam pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya tersebut yaitu dengan cara mengidentifikasi bangunan yang terdapat di Kota Bogor karena bangunanbangunan tersebut memiliki nilai sejarah dan bahkan beberapa diantaranya memiliki andil dalam masa penjajahan kolonial Belanda.

Berdasarkan hasil identifikasi aset pusaka tahun 2013 terdapat 6 (enam) kawasan cagar budaya di Kota Bogor yaitu Kawasan Kebun Raya & Istana Bogor, Kawasan Permukiman Eropa, Kawasan Karsten-Plan, Kawasan Empang, Kawasan Perluasan Barat dan Kawasan Suryakencana. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor tahun 2011-2031 Kawasan Suryakencana ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kota (KSK) dalam sudut kepentingan cagar budaya dan diperuntukkan sebagai kawasan wisata budaya, khususnya diarahkan menjadi Kawasan Pecinan Kota Bogor. Kawasan Suryakencana yang meliputi Kelurahan Gudang dan Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah. Di Kawasan Suryakencana ini adalah pusatnya perdagangan dan jasa yang terletak di Kota Bogor, namun selain menarik sebagai pusat perdagangan dan kuliner, kawasan ini kaya akan sejarahnya.

Handelstraat, 1910. Saat ini dikenal sebagai Jalan Suryakencana, Bogor. Mary Evans/Pharcide
Handelstraat, 1910. Saat ini dikenal sebagai Jalan Suryakencana, Bogor. Mary Evans/Pharcide

Jalan satu arah ini merupakan bagian kecil dari jalan yang membentang panjang dari Anyer hingga Panarukan. Kurang lebih 1000 km, Jalan Raya Pos, atau de Groote Postweg, dibangun pada masa kolonial Belanda untuk melindungi Pulau Jawa dari serangan musuhnya. Dibangun dari tahun 1808 sampai 1810, Jalan Raya Pos melewati berbagai kota di Pulau Jawa seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Cirebon, Surabaya, dan lainnya. Di Bogor, bagian dari jalan tersebut lebih dulu dikenal sebagai sebuah pusat perekonomian kota yang diberi nama Handelstraat, cikal bakal dari Jalan Suryakencana. Dalam pembangunannyan, jalan ini membunuh ribuan masyarakat pribumi yang diperintah sebagai kuli murah dan dipekerjakan secara keji dan paksa.

Gambar terkait
Kondisi Suryakencana 









Handelstraat atau Jalan Perniagaan dipilih sebagai satu daerah sentralisasi masyarakat Etnis Tionghoa di Buitenzorg. Kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah Kolonial Belanda ini dikenal sebagai Wijkenstelsel, membagi zona-zona kota berdasar pada etnis . Di Bogor sendiri, tidak hanya terdapat zona khusus bagi etnis Tionghoa saja, tetapi juga bagi etnis Timur Tengah, Bangsa Kolonial, dan masyarakat pribumi. Karena lokasi inilah mengapa etnis Tionghoa lebih dikenal sebagai masyarakat berdagang. Kebijakan Wijkenstelsel membuat mereka dilarang untuk meninggalkan kebudayaan berkebunnya karena larangan bagi mereka untuk memiliki tanah di kawasan pedesaan pada jaman itu.  

Ex-Hotel Pasar Baroe Bogor
Di bagian utara kawasan ini pada zamannya adalah sebuah pasar yang bernama Pasar Baroe atau Pasar Bogor yang merupakan pasar tertua di Bogor. Pasar ini dilengkapi dengan bangunan cagar budaya yaitu Klenteng Hok Tek Bio (Vihara Dhanagun) yang dipakai sebagai tempat beribadah serta perayaan hari besar. Cagar budaya lainnya terletak di belakang Pasar Bogor. Terdapat Hotel Pasar Baroe yang dibangun pada tahun 1800-an. Hotel ini dibangun bersamaan dengan dua hotel tersohor di kota ini. Berasitektur Indies yang dipadukan dengan corak Eropa dan Tionghoa, dahulu bangunan ini menjadi primadona para pelancong dari etnis Tionghoa, Eropa, Arab, atau bahkan Pribumi pada saat itu. Namun, Hotel seluas 1,2 hektar serta berlantai dua yang dibangun bersamaan dengan Hotel Belavue dan Hotel Salak pada tahun 1873 ini hanyalah sebuah lapak bagi pedagang pasar yang silih berganti. 

Keleneng Hok Tek Bio, Bogor
(Sumber: https://maps.google.com/)

Disamping itu, Jalan Suryakencana ini merupakan perkembangan dari Pulo Geulis, kampung pertama orang Cina yang terletak di belakang pasar sekarang, di pulau kecil di tengah kali  Ciliwung. Di Pulo Geulis ini pun  berdiri Klenteng Phan Ko Bio, yang disebut-sebut sebagai kelenteng tertua di Bogor.  Dimulai tahun 1950, nama Handelstraat telah diubah oleh pemerintah Kota Bogor menjadi Suryakencana sehingga sekarang lebih dikenal sebagai Kawasan Pecinan Suryakencana.



Gambar terkait

Keleneng Phan  Ko Bio, Bogor

Selain budaya Cina, kawasan ini memiliki nilai keberagaman yang terlihat dari gerbang depan jalan ini yang diberi nama “Gerbang Lawang Suryakencana” sebagai wujud penggabungan budaya Sunda dan Tionnghoa oleh pemerintah Kota Bogor dan PU-PERA. Gerbang ini sangat unik karena mengadopsi dari berbagai kebudayaan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Kita dapat melihat salah satunya dari bagian atas Gerbang Lawang yang tertambat sebuah Kujang, senjata tradisional khas Sunda. Keunikan lainnya adalah Gerbang Lawang Suryakencana ini dijaga oleh dua patung berwujud macan. Kenapa macan? Simbol macan dipilih karena simol macan merupakan symbol dari Kerajaan Sunda terbesar yang bernama Kerajaan Pajajaran. Warna putih menggambarkan seorang raja yang dihormati oleh Suku Sunda yang bernama Prabu Siliwangi. Sedangkan macan warna putih dipilih sebagai penyeimbang warna putih tadi. Sesuai dengan dilosofi Tionghoa, yaitu Yin dan Yang.

Gerbang Lawang Suryakencana oleh Irfan  Naufal (2018)

Namun dengan kisah panjang sejarah yang dimiliki dan fungsi kawasan sebagai kawasan niaga yang berpotensi bagi kunjungan wisata dan potensi ekonomi kota,  upaya pemerintah dalam melestarikannya masih belum  efektif. Hal ini dapat dilihat dari hilangnya fungsi-fungsi bangunan dan karakternya dengan pergantian gedung baru yan lebih moderen dan komersil menyebabkan perubahan pada wajah kawasan sehingga sisa-sisa sejarah tidak nampak tilas pada kawasan ini. Tempat yang dulunya pasar tradisional sekarang sudah berpindah. Pasar tradisional berubah menjadi Plaza Bogor dan pasar tradisional tadi berada di bagian belakang gedung. Bahkan ketika berkunjung pada kawasan ini, jika tidak karena gerbangnya yang unik menggambarkan karakter kawasan, kawasan ini terkesan hanya pasar yang tidak terorganisir dan cenderung semerawut yang terletak di kawasan Istana Raya Bogor.

Kondisi Jalan Surya Kencana
(Sumber: https://maps.google.com)



B. TELAAH PUSTAKA

Pengertian Identitas Budaya
Rincian karakteristik atau ciri kebudayaan yang dimiliki sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya ketika dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan lain. (Alo Liliweri; 72)

Peran Identitas Budaya
Identitas budaya ditentukan oleh struktur budaya dan struktur sosial
        - Struktur budaya: pola persepsi, berpikir, perasaan
        - Struktur sosial: pola perilaku sosial
Peran diartikan sebagai seperangkat harapan budaya terhadap posisi tertentu . Pemahaman akan identitas memudahkan komunikasi antar budaya

Identitas budaya dalam kehidupan sehari-hari
-Tampak melalui tatanan berpikir, perasaan dan cara bertindak pada sekelompk orang tersebut
-Tampak melalui bahasa yang dipakai
-Tampak melalui ciri-ciri khas (tubuh, pakaian, makanan, hasil kebudayaan, adat istiadat)

Perspektif terhadap identitas budaya (martin dan nakayama)
         A. Perspektif psikologi sosial
        Individu hidup dalam lingkungan sosial oleh karena itu kepribadian individu dibentuk oleh kepribadian lingkungan sosial
         B. Perspektif komunikasi
        Identitas dibangun melalui interkasi dan komunikasi antara seorang pribadi dan kelompok
         C. Pendekatan praktis
        Identitas dibangun dalam suatu konteks (ekonomi, politik, sejarah)
        Identitas selalu bergerak/dinamis
Pembentukan Identitas Budaya
        A. Konsep identitas selalu terkait peran yang diharapkan
        B. Proses terbentuknya identitas budaya:
        -Identitas budaya yang tidak disengaja (ikut-ikutan terhadap budaya yang lebih dominan)
        -Pencarian identitas budaya. (melalu proses penjajakan, bertanya dan uji coba) Contoh: biarawan/wati
        -Identitas budaya yang diperoleh. (contoh: internalisasi peran sebagai dosen, anggota TNI)
        -Resistensis dan separatisme: Penolakan terhadap (norma-norma) budaya dominan. (aliran agama)
        -Integrasi: integrai budaya beberapa budaya yang menghasilkan budaya baru

Jenis Identitas dan Komunikasi Antarbudaya
       A. Identitas gender, ras, umur, etnik, agama, kelas, bangsa, dan pribadi
       B. Beberapa hal yang perlu diperhatkan dalam komunikasi antar budaya:
        -Etnosentrisme
        -Stereotip
        -Prasangka
        -Diskriminasi
        -Rasisme
        -Dominasi dan subordinasi antar kelompok

KONSERVASI 


Konservasi arsitektur adalah penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut. Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada generasi mendatang.

          Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut. Namun, menurut yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.


Sasaran Konservasi :
  • Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
  • Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini.
  • Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu, tercermin dalam obyek pelestarian.
  • Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi Lingkup Kegiatan.
Kategori Obyek Konservasi :
  • Lingkungan Alami (Natural Area)
  • Kota dan Desa (Town and Village)
  • Garis Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View Corridor)
  • Kawasan (Districts)
  • Wajah Jalan (Street-scapes)
  • Bangunan (Buildings)
  • Benda dan Penggalan (Object and Fragments)
Manfaat Konservasi :
  • Memperkaya pengalaman visual
  • Memberi suasana permanen yang menyegarkan
  • Memberi kemanan psikologis
  • Mewariskan arsitektur
  • Aset komersial dalam kegiatan wisata internasional
Peran Arsitek Dalam Konservasi :

Internal :

  • Meningkatkan kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau memelihara warisan budaya berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi.
  • Meningkatkan kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis tindakan pemugaran kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse.
  • Melakukan penelitian serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan.
Eksternal :
  • Memberi masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang perlu dilestarikan dari segi arsitektur.
  • Membantu Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan pengembangan kawasan yang dilindungi (Urban Design Guidelines).
  • Membantu Pemda dalam menentukan fungsi atau penggunaan baru bangunan-bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi yang fungsinya sudah tidak sesuai lagi (misalnya bekas pabrik atau gudang) serta mengusulkan bentuk konservasi arsitekturalnya.
  • Memberikan contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat menumbuhkan keyakinan pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas kawasan/bangunan bersejarah, pengembangan akan lebih memberikan daya tarik yang pada gilirannya akan lebih mendatangkan keuntungan finansial.


Jenis Kegiatan Pelestarian
       Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni;

  1. Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana-prasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang dikombinasikan dengan penghawaan alami;
  2. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
  3. Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
  4. Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi, seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen internal bangunan eksisting;
  5. Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
  6. Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan
  7. Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.


Kriteria Tolak Ukur dan Penggolongan Bangunan Cagar Budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:

  • Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 
  • Tolak ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun. 
  • Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya. 
  • Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut. 
  • Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari kriteria dan tolak ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni: 
  • Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh. 
  • Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian. 
  • Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA

A.     PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA
Pengertian Kawasan Pusaka Pusaka menurut Convention Concerning The Protection Of The World Cultural And Natural Heritage, adalah aset yang menunjukan evolusi kehidupan manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dipengaruhi hambatan dan potensi fisik dari lingkungan alam mereka dan ditunjukan melalui kekuatan sosial ekonomi dan budaya baik eksternal maupun internal. Dalam pengertian tersebut pusaka mengandung beberapa nilai penting yaitu evolusi kehidupan manusia, pemukiman, potensi fisik dan lingkungan, sosial ekonomi dan budaya. Maksudnya adalah pusaka tidak hanya berkaitan dengan fisik atau yang berwujud, akan tetapi yang tidak berwujud berupa budaya, dan kehidupan sosial ekonomi.

1.Pusaka dan Pelestarian (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003)
  -  Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan   pusaka saujana.
  -  Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa.
  -  Pusaka budaya adalah  hasil cipta, rasa, karsa, dan karya   yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air   Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa   Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain   sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup   pusaka tangible (bendawi) dan pusaka intangible (non   bendawi);
  -  Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka   budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
  -  Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan   penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan,   pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara   selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya   dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk   membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas

Kawasan pusaka dalam suatu kota adalah bukti perkembangan kota tersebut. Bagaimana dimulainya kota, potensi awal kota, kawasan strategis pada kota tersebut serta kehidupan sosial maupun budaya masyarakatnya. Kawasan pusaka merupakan cikal bakal kehidupan kota yang seiring waktu semakin meluas dan terus tumbuh. Kawasan ini menjadi saksi berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Selain itu juga menjadi bukti perkembangan arsitektur kota tersebut.  Kawasan pusaka merupakan aset kota yang menunjukan kekayaan arsitektur kota. Kawasan pusaka menunjukan keindahan visual dan keanekaragaman langgam dalam kota yang cenderung di dominasi bangunan berlantai banyak dan bangunan minimalis. Dengan kata lain, kawasan pusaka memberikan ‘warna’ pada kota selain bernilai sejarah tinggi (Kamil, 2013). Rapoport (1983) dalam Juliarso (2001) menerangkan bahwa kawasan pusaka dapat mencerminkan karakteristik suatu setting kota budaya, memiliki karakteristik lokal yang unik ditandai dengan ditemukan bukti-bukti inskripsi yang mencatat peristiwa dan terdapatnya situs, artefak, bangunan-bangunan bersejarah, istana, keraton, gereja, masjid, candi, klenteng, tugu, benteng-gerbang kota, dalem pangeran, pasar dan lapangan (square, alun-alun, taman) ataupun tempat yang memiliki karakter dengan suasana lingkungan yang bermakna dan bernilai positif bagi masyarakat. 

Seringkali pertumbuhan kota, dengan adanya kemajuan teknologi, bergeser dari kawasan awal mulanya. Faktor usia bangunan, kebutuhan ruang, tingkat kenyamanan yang semakin tinggi menyebabkan bangunan dan lingkungan di kawasan pusaka dianggap tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia dan cenderung ditinggalkan. Terlebih dengan adanya keinginan untuk ‘modernisasi’ oleh pemerintah dan pejabat pengambil keputusan di negara-negara berkembang. Keinginan untuk modernisasi membuat mereka percaya bahwa hanya yang modern yang berharga atau layak untuk kota (Steinberg, 1996). Akibatnya, kawasan pusaka diletakan bersebrangan dengan pembangunan kota dan akhirnya kurang dikenali dan semakin ditinggalkan.  Rypkema (2009) dalam laporannya untuk Inter-American Development Bank menyatakan, ada dual hal yang menjadi ancaman besar bagi kawasan pusaka; pembangunan baru dan rusaknya aset karena minimnya pemeliharaan. Pembangunan baru menjadi ancaman ketika pusat kota sudah tidak mempunyai ruang lagi untuk bangunan baru, akan tetapi kebutuhan masyarakat sangat tinggi. Sehingga bangunan-bangunan pada kawasan pusaka yang dalam kondisi mangkrak dihancurkan untuk digantikan dengan bangunan baru. Hal ini bukan hal yang baru dan sudah sangat sering terjadi dengan dalih bahwa bangunan yang di hancurkan tidak memiliki nilai yang sangat penting bagi kota atau bukan monumen bagi kota. 

Padahal bangunan pusaka yang ada masih bisa dimanfaatkan apabila perbaikan dilakukan. Ancaman yang kedua adalah minimnya pemeliharaan pada bangunan-bangunan dalam kawasan pusaka. Tidak dipungkiri bahwa pemeliharaan bangunan pusaka memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sehingga ketika dana yang dimiliki terbatas, hal pertama yang dilakukan adalah mengurangi biaya pemeliharaan. Akibatnya nilai bangunan turun, kondisi bangunan rusak, ditinggalkan penghuninya dan akhirnya mangkrak dan terancam di hancurkan oleh pembangunan baru.  Untuk tetap dapat bertahan ditengah tuntutan modernisasi, pembangunan baru dan minimnya pemeliharaan, kawasan pusaka harus masuk dalam rencana pengembangan kota, bukannya diletakan bersebrangan dengan pembangunan dan ekonomi kota. Karena kawasan pusaka sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi jika dimanfaatkan dengan baik. Kawasan pusaka dapat menjadi katalis atau pemacu untuk pengembangan sosio-ekonomi kota melalui pariwisata, fungsi-fungsi komersial, serta nilai properti yang tinggi karena lokasinya strategis. 

Dengan pemanfaatan yang baik, kawasan pusaka akan mendatangkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan, restorasi maupun rehabilitasi bangunan dan lingkungan. Pemanfaatan kawasan pusaka akan menjadi maksimal dengan upaya revitalisasi. Secara umum, revitalisasi memiliki pengertian upaya pengembalian vitalitas kawasan dengan memasukan fungsi atau kegiatan baru. Revitalisasi akan menghidupkan kembali kawasan dengan memasukan fungsi-fungsi baru pada bangunan yang lebih menarik dan lebih modern. Selain itu juga merangsang kegiatan-kegiatan baru dalam kawasan sehingga kawasan menjadi lebih aktif. Revitalisasi dipercaya merupakan salah satu bentuk pengembangan pusaka berkelanjutan, melalui tindakan pemanfaatan kembali bangunan dan lingkungan serta kegiatan baru yang dimasukan dalam kawasan yang akan merangsang kawasan tetap hidup. 

2.   PRINSIP PENGELOLAAN KOTA PUSAKA DUNIA (2003):
1)Perlu identifikasi kualitas tertentu yang menyebabkan suatu situs bersejarah perkotaan dianggap penting;
2)Perlu proses sistematik untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian aset pelestarian;
3)Perlu menggunakan hasil evaluasi situs dalam perencanaan pelestarian;
4)Perlu tujuan pelestarian terpadu dengan tujuan  pembangunan sosial dan ekonomi;
5)Perlu melibatkan masyarakat dalam perencanaan pelestarian;
6)Perlu meyakinkan bahwa penilaian terhadap keuangan pembangunan baru tidak merusak perkotaan pusaka;
7)Perlu mendorong pemerintah pusat dan daerah menggunakan kewenangannya dalam menata dan menyusun peraturan dan pendanaan yang tepat;
8)Perlu memahami bahwa setiap persoalan pelestarian adalah unik.

3.  Prinsip Keterpaduan Upaya Pelestarian Pusaka
1) Masyarakat sebagai pusat pengelolaan (people-centered management
2) Kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor
3)  Mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat
4)  Perlu dukungan dan penegakan aspek legal
5)  Perlu diwujudkan pasar pelestarian untuk menunjang kesinambungan pengelolaan.

4. Model Program Pelestarian Kawasan Pusaka
1) Organisasi & Pengelolaan
2) Dokumentasi & Presentasi
3) Promosi
4) Perencanaan Kegiatan
5) Disain
6) Restrukturisasi Ekonomi




Sumber: 



Comments

Popular posts from this blog

ANALOGI DALAM ARSITEKTUR

KRITIK ARSITEKTUR - KRITIK NORMATIF

Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan